Mentari terbenam, bulan pun menggantikan keberadaanya. Langit tak lagi terang karena terang bulan hanyalah serpihan cahaya Sang Mentari. Hari mulai gelap, tak lagi nampak sekumpulan anak-anak berlarian di jalan-jaln pematang perkampungan. Lepakan sepak bola di depan rumahku pun mulai lenyap dari pemandangan. Yang terdengar hanyalah suara unggas, sekumpulan serangga, dan katak-katak sawah. Suara merdu para muadzin (tukang adzan) terdengar saling bersahut-sahutan, setelah bedug dipukul. Orang-orang tua berbondong-bondong dengan menggandeng anak-mereka masing-masing menuju ke masjid untuk melaksanakan ibadah solat Maghrib. Dan kebetulan penduduk di sekitar rumahku mayoritas muslim, jadi serempak mereka mengerjakannya. Namun tak semua yang muslim mau melangkahkan kakinya ke masjid. Jarang di antara mereka saling mengingatkan untuk beribadah di masjid. Beberapa memang ada yang sadar akan keharusannya, ada pula yang lebih memilaih menyaksikan tayangan televisi di rumah.
Keluargaku muslim. Semua orang, tetangga sebelah pun sangat menyegani kami. Yang sebenarnya kami bukan keluarga yang datang dari kalangan atas. Hidup kami sederhana dan hanya sepetak saja, tiga kali empat meter. Hanya sebidang tanah kecillah di antara tetangga kami. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adikku perempuan. Mereka juga belum sekolah, Taman Kanak-kanak pun tidak. Ya, memang keluargaku tak sanggup untuk menyekolahkan kedua adikku. Sama halnya denganku, aku pun tak sekolah, setiap hari, di waktu luangku, aku selalu pergi menggembala kambing milik tetangga. Pada siangnya, aku pulang hanyalah untuk menunaikan Sholat. Setelah itu kulanjutkan kembali kesibukanku. Namun kali ini lain, aku hanya diminta oleh pemilik pekarangan jagung untuk menjaga tanamannya dari serangan hama wereng yang lagi ganas-ganasnya. Pukul tiga sore aku biasanya sudah berada di tengah keluarga lagi menemani adik-adikku bermain.
Setiap malam, aku selalu meminta kepada-Nya agar diberikan kemudahan dalam menjalani hidup yang kian sulit dalam keluargaku. Dalam doaku tak lupa kusampaikan pula mimpiku untuk memiliki sawah dan kambing sendiri. Agar tak hanya mengurus milik orang lain. Sejujurnya keluargakulah keluarga yang paling bahagia. Namun dari kebahagian itu kenapa terasa masih ada yang menjanggal. Apa itu karena kami kurang mensyukuri nikmat-Mu tuhan, hingga engkau begitu tega memperlambat jalan hidup keluarga kami. Namun setiap jejak langkah yang kutinggali selalu kuingat. Aku sangat menukmati hidup ini. Walaupun hanya berteman dengan binatang ternak dan tumbuh-tumbuhan.
Setiap aku berada di pekarangan petani untuk jaga, selalu ada saja yang dapat kujadikan simbol kecerianku. Misalnya saja, saat aku berada di puncak pohon kelapa, aku selalu ditemani burung-burung, semut bahkan sampai cicak pun ada bersamaku menempati pohon itu. satu lagi, di saat aku mengembala, bukan hanya gembalaanku yang mengikutiku, binatang yang kulewati juga ikut mengiringi langkahku, seperti : capung, kucing, bebek-bebek, dan juga lalat pembawa wabah penyakit. Atau mungkin aku terlalu bahu badan. Biarlah, mungkin mereka memang suka dengan aroma tubuh yang kumiliki. Aku sendiri saja risih menghirupnya. Namun, bau itu memang bersarang di tubuhku, dan semua yang di sekitarku kan kuhirup bersamaan dengan oxygen dan zat-zat alami lainnya.
Kembali pada kehidupan nyataku. Setiap malam, setelah makan malam bersama, aku biasanya mengajari adik-adikku. Itu pun kalau tersedia makan malam. Kuajarkan semua yang telah kudapatkan dan kupelajari bersama alam dalam sehari itu. terkadang juga, kalau mereka sedang tidak ingin belajar, aku mendongeng mereka. Beberapa cerita kuambil dari pengalamanku berkelana, dan juga kadang ngasal juga ceritanya. Karena aku sendiri tak pandai dalam mengolah kata dalam bentuk verbal. Aku sebagai dalang dari seluruh cerita yang kuceritakan ulang pada kedua adikku, kadang dibikin bingung dan tak berguna. Ada-ada saja yang mereka tanyakan. Seperti, pada saat kuceritakan pada mereka tentang adanya cicak di pohon kelapa yang sering menggelitikiku. Mereka malah berbalik Tanya, “Bang, kenapa bisa ada pohon di pohon kelapa itu?” Harus kuputar ulang otakku, agar mereka tak kecewa dan tak mau mendengarkan dongenganku. Kucoba menjawab beberapa pertanyaan mereka, dan termasuk yang sudah-sudah yang juga sangat membingungkanku yang tak berpendidikan ini, begini : “Mungkin begini, Dek, para cicak itu bosan dan merasa tak terpancing adrenalinnya bilaman hanya tinggal di tembok atau pun tempat yang datar-datar saja.” Mereka terdiam tak coba menaggapi jawabanku yang tak masuk akal bagi mereka. Mereka kecewa. Kuperhatikan air muka mereka, telah pudar keceriannya. Tak terdengar lagi satu patah kata pun dari bibir mereka. Tak kusangka akan jadi begini. Biasanya mereka tak begini. Apalagi kemarin malam, mereka tampak sangat antusias sekali dan menikmati setiap kata yang kuucap. Namun malam ini tidak, mereka lebih sering kecewa dengan sikap dan tingkahku hari ini.
Esok akan kupersiapkan seribu-satu cerita yang lebih menarik dan terbaru dan juga harus lebih punya dasar yang jelas. . Dan juga kan kupersiapkan seluruh jawaban yang mungkin kan timbul dari rasa keingintahuan mereka. Aku tak bersekolah sampai saat ini, namun otak ini mampu mengingat berates-ratus macam cerita dan dongengan anak yang telah dulu jadi makanan setiap hariku semasa kecil sampai saat ini. Bahkan aku sempat merancang beberapa puluh cerita yang belum pernah ada di dunia ini, apalagi diterbitkan dalam buka. Baru kali ini adik-adikku tak percaya dengan kata-kataku. Adik, abang janji, kalian akan selalu abang jaga di kala kalian terbangun dan sampai kalian dalam mimpi. Kita kan bersama-samamenciptakan Negeri Dongeng dalam mimpi kita nanti. Abang janji…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang bagus-bagus aja ya,,,,
biar tetep semangat berkarya....
See you in the other postings....
Regards
Adnan