Tadi sewaktu aku sedang membantu menyiapkan masakan untuk makan malam nanti, aku merasa malu pada anjing yang tak lebih mulia dariku. Begini ceritanya :
Saat itu aku sedang membaca novel di bawah tangga lantai 2. Baru saja aku turun dari Lab. Komputer, jarum jam sudah mengingatkanku untuk lekas membenahi rumahku. Waktu terus berjalan, memaksaku untuk menunda bacaanku sore ini. Namun aku akan rampungkan satu paragraf ini dulu sebelum memulainya. Pada saat itu, terasa ada seseorang yang sedang menuruni anak tangga di atas kepalaku ini. Ia teman satu kelasku, sebut saja Okta. Sengaja aku tak menegurnya, sebab aku sedang membaca pada bagian yang menarik hati.
Saat bola-mataku tengah mengikuti setiap tetesan tinta hitam yang sudah menjadi huruf, kini kata, kalimat sampai menjadi sebuah cerita yang kini tengah kunikmati, tiba-tiba saja teman sekelasku memulai : "Ta, tolong buatkan api di tungku!" Seperti biasa aku hanya mengerutkan dahiku dan minta izin untuk menyelesaikan satu paragraf yang sedang kubaca ini. Aku tahu saat ini memang seluruh anggota kelompoknya tengah melakukan aktivitasnya masing-masing di luar sana dengan menanggungkan tanggung jawabnya pada remaja gadis(teman sekelasku) ini. Yang membuatnya melakukan yang seharusnya menjadi pekerjaan bersama menjadi sendiri. mulai dari berbelanja ke pasar, memasak, sampai pada tahap pembersihan alat-alat dapur. semua ia kerjakan sendiri tanpa mengeluh. Gadis yang tangguh.
Setelah merampungkan satu paragraf yang menarik tadi, aku pun segera membenahi bukuku, lalu melakukan apa yang memang harus dilakukan, meringankan tanggungjawabnya. Sesegara mungkin kumelangkah ke dapur dan memilah-milah kayu yang masih bisa dibakar. Di situ terdapat beberapa lembar kayu triplek yang tebal lagi sedikit lembab. Nampaknya kurang untuk memasak berbagai menu malam ini. sepengetahuanku di depan sana(saung) masih banyak kayu yang tergeletak di atas pasir dan mudah-mudahan masih bisa dibakar. Aku angkut semua yang tersisa di saung untuk kemudian aku potong menggunakan sebilah gergaji agar lebih mudah dimasukkan pada lubang pembakaran.
Tak perlu susah payah aku menciptakan api, hanya dengan satu sentuhan api kan berkobar, memanaskan semuanya. Kali ini benar-benar yang mau membatu memasak hanya beberapa. Okta, aku dan dibantu dua teman lainnya. semua bumbu diracik oleh Okta. Aku yang mendapat tugas menunggui perapian jangan sampai mati sampai masaknya selesai.
Tiba saatnya memasak balado ikan tongkol. Setelah sambal selesai diuleg, segeralah Okta mengantarkannya padaku di perapian untuk segera dimasak. Jujur aku kurang menyukai aroma masakan balado, baunya sangat menusuk penciumanku hingga terbatuk-batuk. Namun selesai juga masaknya. Ini dia cerita sesungguhnya :
Saat aku dan Okta menuangkan balado ikan tongkol pada mangkuk besar, aku sarankan ia supaya tidak menghabiskan seluruh sambal yang tidak melekat pada daging ikan tongkol itu. "Okta, sisain sambalnya untukku ya. Aku mau masak nasi goreng!" Sambil bercanda-ria kami melakukan semua ini. Di saat aku tengah membolak-balikkan dua sendok nasi, nasi di atas penggorengan, seseorang berbicara ke padaku dan memberi saran, "Etta, di gudang ada telor, mau pakai telor nggak?" Sambil terus membolak-balikkan yang ada di atas penggorengan agar tidak hangus terbakar, aku mengiyakan saja usulannya, "Ya udah pakai aja, toh itu punya Sanggar pastinya." Aku tak menanyakan terlebih dahulu, kepunyaan siapa sebutir telor yang ia bawa dan kumasak selanjutnya. Dan setelah sepiring nasi goreng telor tersajikan, Seseorang lagi datang padaku dan menanyakan sebetir telor yang mungkin kepunyaannya. "Ada yang tahu ngga, siapa yang makan telor di gudang?" Setengah bergetar tubuh ini mendengar ucapannya. Karena akulah yang mengambil telor miliknya.
Sementara aku tengah mencuci penggorengan bekas masak nasi goreng tadi, sebut saja Om Ardhi, terdengar suaranya menyindir, "Orang telor di gudang buat Panda (nama anjing kami) malahan diambil." Aku sengaja berpura-pura tak mendengarnya. Aku semakin malu pada si anjing. "Aku telah merebut jatah makan miliknya sore ini. Salahkah diriku mengambil makanan yang seyogyanya menjadi jatah milik anjing kami ini. Tuhan sudikah Engkau memaafkanku atas perbuatanku ini. Aku benar-benar tidak mengetahui sebelumnya, milik siapakah telor yang sudah terlanjur menjadi lauk tambahan makanku pribadi. Egois benar aku ini, sampai mengambil makanan milik hewan peliharaan kami. Yang tadinya, Panda punya jatah dua butir telor sore ini, ia hanya menikmati satu, itu pun dicampur kembali ke dalam nasi. Tambah sedikitlah porsi makannya sore ini. Maafkan aku, Panda. Aku tak bermaksud merampas hak-hakmu. Suatu hari nanti akan kubelikan kau beberapa butir untuk mengurangi dosaku padamu. Jangan berkecil hati ya." Dalam pada itu terdengar lagi suara Om Ardhi, "Sengaja aku belikan telor buat Panda sebagai pengganti hati ayam, karena kan sekarang hati ayam berhargakan duaribu untuk satunya. Kalau telor kan hanya seribu rupiah untuk satunya. Begini kan akan lebih mudah mendapatkan makanan untuknya." Aku semakin merasa berdosa terhadapnya, mendengar omongan Om Ardhi. Aku berjanji padamu, Panda. Aku akan belikan kau beberapa butir telor untukmu. Namun untuk saat ini aku belum punya uang untuk itu. Kapan-kapan saja lah. Pegang janjiku, Panda. Ini bukan hanya sekedar janji tertulis, ini janji suci, dan aku akan segera menepatinya saat aku punya uang nanti.
Beginilah akhir ceritanya hari ini...
Saat itu aku sedang membaca novel di bawah tangga lantai 2. Baru saja aku turun dari Lab. Komputer, jarum jam sudah mengingatkanku untuk lekas membenahi rumahku. Waktu terus berjalan, memaksaku untuk menunda bacaanku sore ini. Namun aku akan rampungkan satu paragraf ini dulu sebelum memulainya. Pada saat itu, terasa ada seseorang yang sedang menuruni anak tangga di atas kepalaku ini. Ia teman satu kelasku, sebut saja Okta. Sengaja aku tak menegurnya, sebab aku sedang membaca pada bagian yang menarik hati.
Saat bola-mataku tengah mengikuti setiap tetesan tinta hitam yang sudah menjadi huruf, kini kata, kalimat sampai menjadi sebuah cerita yang kini tengah kunikmati, tiba-tiba saja teman sekelasku memulai : "Ta, tolong buatkan api di tungku!" Seperti biasa aku hanya mengerutkan dahiku dan minta izin untuk menyelesaikan satu paragraf yang sedang kubaca ini. Aku tahu saat ini memang seluruh anggota kelompoknya tengah melakukan aktivitasnya masing-masing di luar sana dengan menanggungkan tanggung jawabnya pada remaja gadis(teman sekelasku) ini. Yang membuatnya melakukan yang seharusnya menjadi pekerjaan bersama menjadi sendiri. mulai dari berbelanja ke pasar, memasak, sampai pada tahap pembersihan alat-alat dapur. semua ia kerjakan sendiri tanpa mengeluh. Gadis yang tangguh.
Setelah merampungkan satu paragraf yang menarik tadi, aku pun segera membenahi bukuku, lalu melakukan apa yang memang harus dilakukan, meringankan tanggungjawabnya. Sesegara mungkin kumelangkah ke dapur dan memilah-milah kayu yang masih bisa dibakar. Di situ terdapat beberapa lembar kayu triplek yang tebal lagi sedikit lembab. Nampaknya kurang untuk memasak berbagai menu malam ini. sepengetahuanku di depan sana(saung) masih banyak kayu yang tergeletak di atas pasir dan mudah-mudahan masih bisa dibakar. Aku angkut semua yang tersisa di saung untuk kemudian aku potong menggunakan sebilah gergaji agar lebih mudah dimasukkan pada lubang pembakaran.
Tak perlu susah payah aku menciptakan api, hanya dengan satu sentuhan api kan berkobar, memanaskan semuanya. Kali ini benar-benar yang mau membatu memasak hanya beberapa. Okta, aku dan dibantu dua teman lainnya. semua bumbu diracik oleh Okta. Aku yang mendapat tugas menunggui perapian jangan sampai mati sampai masaknya selesai.
Tiba saatnya memasak balado ikan tongkol. Setelah sambal selesai diuleg, segeralah Okta mengantarkannya padaku di perapian untuk segera dimasak. Jujur aku kurang menyukai aroma masakan balado, baunya sangat menusuk penciumanku hingga terbatuk-batuk. Namun selesai juga masaknya. Ini dia cerita sesungguhnya :
Saat aku dan Okta menuangkan balado ikan tongkol pada mangkuk besar, aku sarankan ia supaya tidak menghabiskan seluruh sambal yang tidak melekat pada daging ikan tongkol itu. "Okta, sisain sambalnya untukku ya. Aku mau masak nasi goreng!" Sambil bercanda-ria kami melakukan semua ini. Di saat aku tengah membolak-balikkan dua sendok nasi, nasi di atas penggorengan, seseorang berbicara ke padaku dan memberi saran, "Etta, di gudang ada telor, mau pakai telor nggak?" Sambil terus membolak-balikkan yang ada di atas penggorengan agar tidak hangus terbakar, aku mengiyakan saja usulannya, "Ya udah pakai aja, toh itu punya Sanggar pastinya." Aku tak menanyakan terlebih dahulu, kepunyaan siapa sebutir telor yang ia bawa dan kumasak selanjutnya. Dan setelah sepiring nasi goreng telor tersajikan, Seseorang lagi datang padaku dan menanyakan sebetir telor yang mungkin kepunyaannya. "Ada yang tahu ngga, siapa yang makan telor di gudang?" Setengah bergetar tubuh ini mendengar ucapannya. Karena akulah yang mengambil telor miliknya.
Sementara aku tengah mencuci penggorengan bekas masak nasi goreng tadi, sebut saja Om Ardhi, terdengar suaranya menyindir, "Orang telor di gudang buat Panda (nama anjing kami) malahan diambil." Aku sengaja berpura-pura tak mendengarnya. Aku semakin malu pada si anjing. "Aku telah merebut jatah makan miliknya sore ini. Salahkah diriku mengambil makanan yang seyogyanya menjadi jatah milik anjing kami ini. Tuhan sudikah Engkau memaafkanku atas perbuatanku ini. Aku benar-benar tidak mengetahui sebelumnya, milik siapakah telor yang sudah terlanjur menjadi lauk tambahan makanku pribadi. Egois benar aku ini, sampai mengambil makanan milik hewan peliharaan kami. Yang tadinya, Panda punya jatah dua butir telor sore ini, ia hanya menikmati satu, itu pun dicampur kembali ke dalam nasi. Tambah sedikitlah porsi makannya sore ini. Maafkan aku, Panda. Aku tak bermaksud merampas hak-hakmu. Suatu hari nanti akan kubelikan kau beberapa butir untuk mengurangi dosaku padamu. Jangan berkecil hati ya." Dalam pada itu terdengar lagi suara Om Ardhi, "Sengaja aku belikan telor buat Panda sebagai pengganti hati ayam, karena kan sekarang hati ayam berhargakan duaribu untuk satunya. Kalau telor kan hanya seribu rupiah untuk satunya. Begini kan akan lebih mudah mendapatkan makanan untuknya." Aku semakin merasa berdosa terhadapnya, mendengar omongan Om Ardhi. Aku berjanji padamu, Panda. Aku akan belikan kau beberapa butir telor untukmu. Namun untuk saat ini aku belum punya uang untuk itu. Kapan-kapan saja lah. Pegang janjiku, Panda. Ini bukan hanya sekedar janji tertulis, ini janji suci, dan aku akan segera menepatinya saat aku punya uang nanti.
Beginilah akhir ceritanya hari ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang bagus-bagus aja ya,,,,
biar tetep semangat berkarya....
See you in the other postings....
Regards
Adnan