Ini Ialah Mesin Untuk kedatanganmu yang ke :

Rabu, 01 Juni 2011

Susah Tuk Memahami Mereka

Wah, beginikah rasanya menjadi seorang pengajar?

Hai teman-teman semua, tahu tidak, sore ini aku baru saja mendampingi dua adikku di Sanggar Akar. Sebelumnya, aku kira ini kan menjadi sore yang paling berirama dalam hidupku bersama sebuah komunitas. Mengapa begitu, karena hari ini merupakan hari pertamaku mendampingi anak-anak bermain alat musik, khususnya gitar klasik. Walaupun belum seberapa kemampuanku. Setidaknya, aku masih bisa berbagi dengan adik-adikku di sini.
        Aku kesal, seharusnya aku tak mendampingi mereka seorang diri. Sandi, ia teman sekelasku di kelas Gitar Klasik tahun pertama. Ia juga ditunjuk untuk menjadi penanggung-jawab kelas Gitar Klasik pada sore hari. Namun, kini ia tak hadir menemaniku. Ia sedang pulang menjenguk keluarganya di kampung sana. Aku pun akan berbuat  demikian, kalau saja sanak-saudaraku ada yang bertempat-tinggal di tanah Betawi ini. 

Jumat, 25 Maret 2011

Mengambil makanan Milik Panda

Tadi sewaktu aku sedang membantu menyiapkan masakan untuk makan malam nanti, aku merasa malu pada anjing yang tak lebih mulia dariku. Begini ceritanya :

        Saat itu aku sedang membaca novel di bawah tangga lantai 2. Baru saja aku turun dari Lab. Komputer, jarum jam sudah mengingatkanku untuk lekas membenahi rumahku. Waktu terus berjalan, memaksaku untuk menunda bacaanku sore ini. Namun aku akan rampungkan satu paragraf ini dulu sebelum memulainya. Pada saat  itu, terasa ada seseorang yang sedang menuruni anak tangga di atas kepalaku ini. Ia teman satu kelasku, sebut saja Okta. Sengaja aku tak menegurnya, sebab aku sedang membaca pada bagian yang menarik hati.
        Saat bola-mataku tengah mengikuti setiap tetesan tinta hitam yang sudah menjadi huruf, kini kata, kalimat sampai menjadi sebuah cerita yang kini tengah kunikmati, tiba-tiba saja teman sekelasku memulai : "Ta, tolong buatkan api di tungku!" Seperti biasa aku hanya mengerutkan dahiku dan minta izin untuk menyelesaikan satu paragraf yang sedang kubaca ini. Aku tahu saat ini memang seluruh anggota kelompoknya tengah melakukan aktivitasnya masing-masing di luar sana dengan menanggungkan tanggung jawabnya pada remaja gadis(teman sekelasku) ini. Yang membuatnya melakukan yang seharusnya menjadi pekerjaan bersama menjadi sendiri. mulai dari berbelanja ke pasar, memasak, sampai pada tahap pembersihan alat-alat dapur. semua ia kerjakan sendiri tanpa mengeluh. Gadis yang tangguh.
          Setelah merampungkan satu paragraf yang menarik tadi, aku pun segera membenahi bukuku, lalu melakukan apa yang memang harus dilakukan, meringankan tanggungjawabnya. Sesegara mungkin kumelangkah ke dapur dan memilah-milah kayu yang masih bisa dibakar. Di situ terdapat beberapa lembar kayu triplek yang tebal lagi sedikit lembab. Nampaknya kurang untuk memasak berbagai menu malam ini. sepengetahuanku di depan sana(saung) masih banyak kayu yang tergeletak di atas pasir dan mudah-mudahan masih bisa dibakar. Aku angkut semua yang tersisa di saung untuk kemudian aku potong menggunakan sebilah gergaji agar lebih mudah dimasukkan pada lubang pembakaran.
         Tak perlu susah payah aku menciptakan api, hanya dengan satu sentuhan api kan berkobar, memanaskan semuanya. Kali ini benar-benar yang mau membatu memasak hanya beberapa. Okta, aku dan dibantu dua teman lainnya. semua bumbu diracik oleh Okta. Aku yang mendapat tugas menunggui perapian jangan sampai mati sampai masaknya selesai.
         Tiba saatnya memasak balado ikan tongkol. Setelah sambal selesai diuleg, segeralah Okta mengantarkannya padaku di perapian untuk segera dimasak. Jujur aku kurang menyukai aroma masakan balado, baunya sangat menusuk penciumanku hingga terbatuk-batuk. Namun selesai juga masaknya. Ini dia cerita sesungguhnya :
          Saat aku dan Okta menuangkan balado ikan tongkol pada mangkuk besar, aku sarankan ia supaya tidak menghabiskan seluruh sambal yang tidak melekat pada daging ikan tongkol itu. "Okta, sisain sambalnya untukku ya. Aku mau masak nasi goreng!" Sambil bercanda-ria kami melakukan semua ini. Di saat aku tengah membolak-balikkan dua sendok nasi, nasi di atas penggorengan, seseorang berbicara ke padaku dan memberi saran, "Etta, di gudang ada telor, mau pakai telor nggak?" Sambil terus membolak-balikkan yang ada di atas penggorengan agar tidak hangus terbakar, aku mengiyakan saja usulannya, "Ya udah pakai aja, toh itu punya Sanggar pastinya." Aku tak menanyakan terlebih dahulu, kepunyaan siapa sebutir telor yang ia bawa dan kumasak selanjutnya. Dan setelah sepiring nasi goreng telor tersajikan, Seseorang lagi datang padaku dan menanyakan sebetir telor yang mungkin kepunyaannya. "Ada yang tahu ngga, siapa yang makan telor di gudang?" Setengah bergetar tubuh ini mendengar ucapannya. Karena akulah yang mengambil telor miliknya.
         Sementara aku tengah mencuci penggorengan bekas masak nasi goreng tadi, sebut saja Om Ardhi, terdengar suaranya menyindir, "Orang telor di gudang buat Panda (nama anjing kami) malahan diambil." Aku sengaja berpura-pura tak mendengarnya. Aku semakin malu pada si anjing. "Aku telah merebut jatah makan miliknya sore ini. Salahkah diriku mengambil makanan yang seyogyanya menjadi jatah milik anjing kami ini. Tuhan sudikah Engkau memaafkanku atas perbuatanku ini. Aku benar-benar tidak mengetahui sebelumnya, milik siapakah telor yang sudah terlanjur menjadi lauk tambahan makanku pribadi. Egois benar aku ini, sampai mengambil makanan milik hewan peliharaan kami. Yang tadinya, Panda punya jatah dua butir telor sore ini, ia hanya menikmati satu, itu pun dicampur kembali ke dalam nasi. Tambah sedikitlah porsi makannya sore ini. Maafkan aku, Panda. Aku tak bermaksud merampas hak-hakmu. Suatu hari nanti akan kubelikan kau beberapa butir untuk mengurangi dosaku padamu. Jangan berkecil hati ya." Dalam pada itu terdengar lagi suara Om Ardhi, "Sengaja aku belikan telor buat Panda sebagai pengganti hati ayam, karena kan sekarang hati ayam berhargakan duaribu untuk satunya. Kalau telor kan hanya seribu rupiah untuk satunya. Begini kan akan lebih mudah mendapatkan makanan untuknya." Aku semakin merasa berdosa terhadapnya, mendengar omongan Om Ardhi. Aku berjanji padamu, Panda. Aku akan belikan kau beberapa butir telor untukmu. Namun untuk saat ini aku belum punya uang untuk itu. Kapan-kapan saja lah. Pegang janjiku, Panda. Ini bukan hanya sekedar janji tertulis, ini janji suci, dan aku akan segera menepatinya saat aku punya uang nanti.

Beginilah akhir ceritanya hari ini...

Kamis, 24 Maret 2011

Di Kolong Langit - Mu Aku meminta


Tak ada hal yang lebih baik yang bisa kuperbuat
Di tepian jurang kumerong-rong seorang diri
Semua kata terucap begitu saja dengan bebasnya
Tak sempat kumendengar hati kecilku berkicau

            Sementara aku masih ingin mendengarnya
            Egoku terlalu kencang melaju
            Sampai kemulian suara hati hanya bisa menjadi bising belaka
            Kenapa yang keras selalu menang di antara kelembutan

Seandainya kesemuanya dapat berpasangan
Berpasangan dengan keserasian, sehati
Jiwaku terlalu muda untuk menampung itu semua
Sehingga, angin mudah saja untuk menggoyahkan

            Sebab apa dunia ini mengadiliku
            Akukah yang Engkau pilih, Tuhan
            Setetes embun pun tak Engkau curahkan untukku
            Terlalu gersang untuk kujejaki dengan kaki telanjang

Tuhan, Engkau maha adil
Engkau maha perkasa, dan bijaksana
Setiap waktu aku bersujud dan berdoa kepada-Mu
Aku tahu Engkau mendengarnya

                Kubiarkan air mataku membasahi bumi-Mu
                Bermacam-macam cara pengabulan Engkau miliki
                Hari inikah, besok kah, atau kapan…?
                Apa kan kau ganti dengan yang lebih berarti?    

+=Kunjungan SMA St. Theresia=+


            Minggu, 31 Januari 2010, sekitar pukul 10 pagi Sanggar Anak Akar kedatangan tamu dari SMA St. Theresia yang beralamat di Jl. Gereja Theresia No.4 Jakarta Pusat. Jumlah mereka 11 anak dan 1 orang guru pendamping. Tujuan mereka datang ke Sanggar adalah ingin menambah teman, pengalaman, dan merefleksikan diri setelah selama satu minggu menjalani aktivitas masing-masing di kehidupan mereka yang beraneka ragam. Selain itu, mereka juga ingin mengetahui dan merasakan kegiatan sehari-hari Sanggar Anak akar/khususnya siswa Sekolah Otonom.

            Saat tiba, mereka mengajak anggota Sanggar untuk berkumpul di aula. Dalam dari pada itu mereka membagi kelompok yang beranggotakan penghuni rumah Akar/SAA dan Theresia. Setelah dibagi menjadi kira-kira 7  kelompok, mereka memberikan beberapa games yang begitu interaktif. Kegiatan semacam ini sengaja diadakan sebagai salah satu kegiatan yang bertujuan untuk menghibur dan mengenal satu sama lain lebih dalam. Setelah memainkan sekitar 4 games, kami beristirahat untuk makan siang dan saling berbagi person to person.

            Setelah makan siang, anak-anak dari Theresia berkeliling Sanggar Anak akar  ditemani oleh beberapa Dekan. Selesai berkeliling, kami dari Sanggar mengadakan workshop Paper Quilling. Walau tidak semua anggota Sanggar ikut dalam workshop ini, tapi anak-anak dari Theresia nampak sangat antusias dan juga terhibur mengikutinya. Setelah workshop usai, kami saling bertukar kartu ucapan yang telah dibuat, saat tadi mengikuta workshop.

            Sekitar pukul 3 sore kami melanjutkan kegiatan kebersamaan, seperti memasak, kerja bakti, membersihkan ruangan dan lain sebagainya. Karena keterbatasan waktu dan juga masih ada beberapa orang yang tidak bekerja, sebagian ruangan tidak dibersihkan. Setelah acara kebersamaan selesai, kami melanjutkan games kembali yang tadi sempat diberhentikan untuk makan siang dan workshop. Di akhir acara, baru para juri di setiap permainan  menginformasikan perolehan score/hasil dari masing-masing kelompok.

            Sebelum anak-anak dari Theresia pulang, mereka memberikan beberapa bingkisan untuk anggota Sanggar yang sudah mau mengikuti kegiatan ini dari awal. Sebenarnya ingin diadakan pertunjukan perkusi dari Sanggar Anak akar sebagai penutup acara. Tapi karena keterbatasan waktu dan juga ada beberapa dari anak Theresia yang tempat tinggalnya jauh, jadi sebagai penutup acara kami hanya berfoto-foto dan saling bertukar nomor handphone atau sekedar minta alamat FB(Facebook).


Penulis   : EttaDaudSaech & Masrida Utari
Sekolah : SEKOSA

“Operet Nyanyian Negri Pelangi”


 Jakarta, 15-16 November 2010, Sanggar Anak Akar menyelenggarakan  sebuah pertunjukan berbentuk  Operet, yang berjudul,  “Nyanyian Negri pelangi”.  Pertunjukan ini  diselenggarakan di  Graha Bakti Budaya, TIM(Taman Ismail Marzuki)  yang beralamat di Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Dalam Produksi Sanggar Anak Akar kali ini, cukup banyak melibatkan pelbagai komunitas, dan basis, di antaranya : Basis Penas, Kampung Melayu, Bantar Gebang, dan Halim. Banyak dari mereka yang  ikut ambil peran dalam mengisi dialog di setiap adegan. Untuk pemain musiknya, didatangkan  dari Sanggar Anak Akar. Beberapa di antaranya alumni Sanggar Anak Akar juga ikut serta. Para Alumni juga menyumbangkan beberapa lagu dan komposisi. Cukup banyak lagu yang dibutuhkan di dalamnya. Sedikitnya, ada tigabelas komposisi, diciptakan oleh banyak Composer kami.  Beraneka macam genre yang dimainkan, karena, menyesuaikan setiap adegan dan yang diingini oleh si Sutradara. Semua lirik lagu diciptakan oleh Sutradara. Beberapa komposisinya juga ada yang lahir dari tangan Sutradara. Salah satu lagunya ditempatkan di akhir adegan, dan sekaligus sebagai penutup acara.
Saya merasa senang sekali, ketika mendapatkan peran sebagai Batang Umbi. Batang umbi ialah sesosok orang yang menurut saya” Jahat”.  Karena ia merupakan salah satu tangan-kanannya Brotowali. Tetapi, ketika Batang Umbi Harus berhadapan dengan Bulir Padi, istrinya, ia terlihat seperti sesosok suami yang takut akan istrinya sendiri. Karena, di samping ia harus meyakinkan keluarganya supaya percaya akan kaidah yang ia anut,  ia juga dituntut untuk tidak takut pada siapa pun yang akan ia hasut. Saya meresa canggung, jika harus menceritakan tentang isi cerita dari operet ini. Mungkin ini saja yang dapat saya ceritkan pada Anda. Kita beralih ke prosesnya sajalah.
Pertunjukan kali ini merupakan kali keempatnya saya bermain teater di Sanggar Anak Akar. Setelah sebelumnya bermain di pertunjukan Maliang Dan Kuas Ajaib, Suara Bianglala dan Konser Etnika. Banyak permasalahan yang saya dapati selama proses latihan berlangsung. Jangka waktu untuk mempersiapkan semuanya kurang-lebih hanya satu bulan lamanya, mulai dari dekorasi panggung, beberapa komposisi yang harus digarap, hand property, penjadwalan latihan setiap harinya, konsumsi, transport dan masih banyak lagi. Meskipun sudah ada penanggungjawab di setiap bidangnya, masih saja kami kerepotan. Mungkin karena banyak hal yang kami pikirkan. Beberapa dari anak-anak yang mendapat peran juga masih saja kesulitan untuk ikut latihan bersama. Jarang sekali kami bisa latihan bersama dengan anak-anak dari basis. Paling hanya di hari sabtu dan minggu, kami bisa latihan bersama-sama. Karena, banyak dari mereka yang masih mengenyam  pendidikan di sekolah formal. Ada di antaranya yang bisa diizinkan dari pihak sekolah, walau pun yang meminta izin, mereka sendiri tanpa harus pengurus dari sanggar yang datang ke sekolah untuk mengurusnya. Ada juga yang harus memakai surat dari Sanggar. Beberapa penggarapan perlengkapan yang tertunda, diakibatkan oleh beberapa urusan yang harus diselesaikan penanggungjawab bidang di luar produksi. Beberapa dari mereka, ada yang mempersiapan segalanya untuk keberlangsungannya acara resepsi pernikahan mereka dalam waktu dekat. Hampir setiap hari kami latihan teater,  kecuali, mereka yang tinggal di basis-basis.  Mereka hanya bisa datang ke Sanggar untuk latihan di hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, mereka kembali lagi ke rumah masing-masing.
Di hari pertama kami latihan, tidak seefektif dan tidak berjalan lancar, Karena jadwal latihannya baru akan dibuat setelah mendaapat persetujuan dari sutradara. Seperti biasa, untuk pembuka latihan, kami melakukan pemanasan terlebih dahulu. Agar tidak tegang. Karena, kebanyakan dari anggota sanggar, khususnya murid-murid sekolah Otonom di tahun ini yang ikut terlibat dalam proses ini, mengakui bahwa, ini kali pertamanya mereka bermain Drama. Sesaat kami pemanasan, Sutradara datang membawa naskah. Naskah yang akan kami baca secara bergilir, sembari sang sutradara melakukan casting. Setelah semuanya duduk bersebela-sebelahan, kami pun memulainya. Dialog pertama dibacakan oleh sutradara. Dialog kedua dibacaka oleh salah satu dari kami yang berada di sebeelahnya, dialog selanjutnya dibacakan oleh anak yang duduk di sebelahnya, dan seterusnya sampai dialog yang harus dibacakan habis. Karena sang sutradara belum menemukan siapa-siapa saja yang akan mendapatkan peran, membaca ulang naskah pun kami lakukan.
Sebenarnya saya tibakbegitu suka bermain drama, dikarenakan, saya selalu kesusahan, ketika harus membacakan dialog di depan teman-temanku. Apalagi, cara saya membaca sering belepotan. Kata mereka yang mendengarkan,”Ngomong apa sii?”, “Nggak jelas nii mbacanya!” Sahut teman lainnya, “Artikulasinya yang jelas dong, makanya jangan cepet-cepet! Kelipet ntu lidah lo.”Tambah yang lainnya. Saya sempat merasa jengkel diri, dan pada mereka juga. Saya sudah mengulangnya berkali-kali, tetapi, masih saja tak ada hasilnya.  Mereka pun melakukan hal yang sama dengan tadi yang sudah-sudah terjadi.  Mencela, merendahkan, membego-mbegokan yang lain, kritik keras menghujani telingaku.”Kenapa mereka selalu berbuat demikian, ketika salah satu dari mereka, tidak dapat berbicara atau pun berbuat seperti yang mereka kehendaki?” Gerutuku dalam batin. Baru membaca dialog  saja, saya sudah dapat celaan sedemikian banyaknya, bagaimana kalau berlanjut terus pada angkatan selanjutnya yang akan ikut belajar bersama ditempat ini? Apa mereka yang baru ikut bergabung dan bermain drama akan senang hati?. Bagi banyak anak-anak yang mentalnya lemah, itu akan membuatnya tersinggung. Bahkan mungkin mereka akan menjadi tambah menurun mentalnya.
Di saat kami sedang mempermasalahkan hal itu, sutradara hanya tersenyum prihatin pada kami dan ia berkata, “Ya sudahlah, mendingan kita teruskan saja membaca dialognya, masih salah-salah juga nggak apa-apa. Toh nanti bisa dilatih dan dibiasakan sambil jalan. Nggak baik juga perbuatan yang  telah kalian perbuat, dengan menindas yang lainnya. Saya bicara seperti ini, tidak tertunjuk pada satu orang, akan tetapi untuk kalian semua. Jangan merasa paling bisa, paling jago, paling berpengalaman sendiri.  Keterampilan, keahlian, kepiawaian, dan semua yang telah kalian dapatkanitu, tidak lain ialah titipan-Nya. Jadi jangan kalian menyombongkan diri sendiri. Memang apa yang patut kalian sombongkan, sedangkan, kalian tidak serius menapaki jalan menuju kemajuan pribadi dan kemajuan bersama. Kita ini tinggal di sebuah komunitas, maka saling melengkapilah kalian. Jangan hanya mementingkan sendiri, mengutamakan kemajuan personal tanpa menghiraukan saudara atau teman kita yang tertinggal.”  Suasana pun semakin mencekam. Seakan omongannya baru saja menyindir kami secara halus. Kami pun saling intropeksi diri, dan saling pandang satu sama lain.
Setelah mendengar sang sutradara berbicara seperti itu, saya pun merasa lega, dan kembali bersemangat untuk berlatih kembali. Teman-teman lainnya juga saling menyemangati satu sama-lain. Kami lanjutkan kembali latihan seperti biasa. Terasa damai sudah suasana menyertai kebersamaan kami. Seharian di aula, kami habiskan hanya untuk merampungkan naskah, dan sutradara pun sudah menentukan  barang siapa-siapa saja yang dapat peran.  


Senin, 21 Maret 2011

Liburan Yang Melelahkan

Kemarin siang, Minggu 20 Maret 2011, aku berkunjung ke rumah Angger, salah satu teman nge-blog-ku. Sebelum berangkat aku sempatkan dulu untuk mencatat alamat rumahnya yang ada pada dasbor/blognya. Dengan teliti kucatat alamatnya secara detail, namun tak kutemukan alamat secara lengkapnya, seperti Rt/Rw atau pun gang-nya. Aku hanya mencatat apa yang tercatat di blog miliknya. Begini : Jl. Batu Ampar 3/12 Condet Raya, dan beberapa nomer kontak handphone milik keluarganya. Kemudian berpamitan kepada beberapa pengurus yang kebetulan sedang ada di lantai bawah. Aku sengaja tidak menyantap makan siangku terlebih dahulu. Dengan harapan, aku akan cepat sampai pada tujuan dan aku dapat sejenak beristirahat di sana.
        Di lantai bawah, ada beberapa pengurus yang memang menetap di Sanggar kami, di antaranya : sebut saja Deasy dan Yohanes. Deasy sudah kuanggap sebagai Ibuku ketika aku berada di Sanggar ini. Begitu juga dengan Yohanes, ia sebagai Bapakku. Namun itu tidak berarti aku tidak menganggap orang tua kandungku yang berada di kampung. Setelah berpamitan, aku minta sebagian uang tabunganku untuk transport dan membeli makanan-minuman ringan di jalan nanti. Dengan segera Ibu Deasy merogoh tas lengannya dan menyerahkan uang sebesar limapuluh ribu rupiah kepadaku. Dan aku kecup punggung tangannya untuk kedua kalinya. kemudian bergeser sedikit ke sebelah kiri dan minta ijin untuk menelpon Ibu Banun (Ibunya Angger) pada Yohanes, "Bang, aku minta pulsanya dong, untuk nelpon Ibu Banun. Boleh enggak?" Tanpa menunggu ia menjawab, aku langsung gunakan telpon genggam miliknya. Lalu kemudian menghubungi Ibu Banun. Setelah mendapat kejelasan, bahwa Beliau ada di rumah bersama anak-anaknya, baru saya berangkat ke Condet. 
         Dalam perjalanan menuju Rumah Angger, tidak hanya sekali sampai tujuan. Aku harus naik transportasi umum. Angkot pertama yang membawa saya hanya sampai PGC(Pusat Grosir Cililitan). Karena takut akan tersesat lebih jauh, saja memutuskan untuk tidak naik angkot. Jadi saya jalan kaki menuju rumah Angger dari PGC. 
         Dalam dari perjalanan ke rumah mereka, saya berkali-kali menanyakan alamat yang kubawa kepada orang-orang yang lalu-lalang di di sampingku. Kebanyakan dari mereka hanya menunjukkan di mana letek Jl. Batu Ampar 3. Begitu sampai di Jl. Batu Ampar 3, kembali saya tanyakan keberadaan Rumah Kel. Ibu Banun. Jawaban yang saya dapatkan dari seluruh orang yang saya tanyai sama, tak satu pun dari mereka mengetahui rumah kediaman Kel. Ibu Banun. Terpaksa aku harus mencari kediaman mereka seorang diri. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku terus melanjutkan pencarian. Meskipun pada dasarnya aku sangatlah lapar dan haus untuk melanjutkan perjalanan yang melelahkan ini. 
         Berkali-kali aku mendatangi konter hp untuk sekadar meminta telepon dan nyatanya harus bayar dua kali-lipat dari pulsa yang kugunakan. 
      "Payah banget si ini dunia, semua seba berbayar." Sindirku padanya dalam hati.
Hasil dari menelpon Ibu Banun, hanyalah, pengarahan yang tak begitu jelas unutk orang awam seperti aku ini. Aku kan jarang berkeliaran keluar Sanggar. Tak apalah, toh, usahaku tidak akan sia-sia. 
        Setelah kurang-lebih 3 jam malakukan pencarian, akhirnya aku menemukan Angger di depan Indomart. Ia terlihat sangat kecewa sekali kepadaku. Yang harusnya sampai sebelum pukul satu siang tadi, aku baru bisa menemukan mereka pukul tiga sore. Sangat melelahkan. Setelah kami berdua bertemu, segera ia melepas kekecewaannya padaku, "Ihh.., ka'Etta lama banget si,,, aku dah nunggu dari tadi tau di rumah bareng Ibu dan Enggar(adiknya), ya sudah, nanti mau ya temani aku Ke Pondik Gede buat daftar Try out!"  Aku tak menanggapinya, dan langsung mengikuti langkah kecil namun cepatnya. 
        Setelah sampai pada beranda rumahnya, ia mengadu pada sang Ibu, 
        "Ibu, ini Mas Etta baru ketemu. Dan muter-muter katanya, dan malahan sempat lewat depan rumah ini, cuma Mas Adnannya tidak tahu, kalau ini rumah kita." 
Begitu ia masuk, aku pun menyertainya di belakangnya. Tanpa dipersilakan duduk, aku sudah duduk mendahului mereka. Lalu, 
        "Aku capek, Bu. Muter-muter terus dari tadi, dan nggak nemuin alamatnya yang aku bawa dari sanggar." 
        "Memangnya kemu dapet alamatnya dari siapa?" Tanya Ibu banun terheran-heran padaku.
        "Dari posternya B.A.B.E-nya Angger yang ada di blog." Seruku menanggaoi pertanyaanya. Kemudian Ibu tertawa, entah di mana letak kelucuannya. kembali ia menegaskan, " Etta sayang, itu kan alamat rumah yang lama, kamu itu gimana, tidak tanya-tanya dulu. "Sudahlah, Bu. Yang penting aku sudah sampai tho?"

         Ya beginilah akhir ceritaku pada waktu itu. Sungguh menarik sebenarnya, apabila kuceritakan kelanjutan dari kisah liburanku ke rumah Kel. Ibu Banun. Banyak hal yang menarik terjadi di sana. Seperti, saat aku diajak main oleh Enggar. Ia mengeluarkan semua mainannya dari kotak dan lemari mainannya. Aku disuguhi pelbagai macam mainan, dari yang sederhana sampai yang memerlukan pemikiran.  Seru deh, intinya....
Nanti kan kulanjutkan kebali di Postingan yang akan datang.
        

Minggu, 20 Maret 2011

Pengharapan

Setangkai bunga mawar kupersembahkan padamu
Padamu yang pandai memikat hati seorang pangeran
Memang aku bukan seorang pangeran dambaanmu
Namun aku mendambakan sosok sepertimu di hidupku


           Semestinya kau memang tercipta untukku
           Bukan untuk seseorang lainya kecuali daku ini
           Jangan engkau menyesali pertemuan ini
           Sendiri yang melenggang di hadapanku
           

Sabtu, 19 Maret 2011

DuniaMu Nampak Terang

Ibu pergi, Ayah gantikan
Adik merengek, Ayah menimangnya
Aku belajar, Ayah selalu menemaniku
Namun, ketika kuberkelahi, tak coba Ayah lerai
Seperti dalam papan catur Ayah

        Bersama kami membangun keluarga
        Tanpa istri dan Ibu kami tercinta
        Ayah bekerja tanpa adanya istri yang menemaninya
        Aku dan adikku bersekolah tak Ibu iringi lagi
        Ibarat langit tanpa awan yang menghiasinya

Ayah menyemangatiku ketika kuterkurung lubung asa
Begitu juga dengan adikku, ia raih tanganku dan berdoa untukku
Tuhan, indah nian dunia-Mu ini, meski Engkau pungut satu dari kami
Tak cukup amalku ntuk membalas nikmat dan karunia-Mu
Apa sudah Engkau dengar pesan Ibuku di sana

Terima kasih Tuhan
Kau memang sahabat terbaik keluarga kami
Kau lengkapi kekurangan kami
Kau payungi  dengan pedoman hidup-Mu
Tanggalkanlah niat_Mu menjemput ajal kami

Kan kami sertakan pedoman-Mu, di setiap langkah kami
Agar kami dapat menjadi bulan yang terang di bumi untuk sesama

Mereka Tak Bersamaku Di Sisi-Nya

Aku marah, aku muak dengan kalian
Aku datang kepada kalian bukan untuk disesatkan
Aku diutus oleh-Nya untuk belajar dari kalian
Namun apa yang kudapatkan kini
Sanak-saudaraku mengucilkanku

       Apa ini sebab kekeliruanku lagi
       Kalian telah membodohiku dengan kaidah kalian
       Semua yang t'lah kubentuk untuk kelak
       Kalian robohkan, kalian injak-injak
       Tak satu pun kalian tinggalkan yang utuh

Kalian mengutuk imanku, Tuhan kalian
Aku jalankan semua isyarat bisu kalian
Kujunjung tinggi martabatmu demi kemashuran
Tidakkah kalian merasakannya
Kalian mengkufuri nikmat-Nya

          Ingat, kelak kalian kan mengetahuinya
          Di surga tak kan ada tempat ntuk kalian
          Tuhan murka dengan watakmu
          Sembah Ia dengan hormatmu
          Sebelum cambuk neraka menjilatmu
  

Balasan-Nya

Untuk siapa aku dilahirkan
Ke mana harus kutapakkan kaki ini
Siapa kan peduli dengan keberadaanku
Diriku saja tak peduli takdir kan membawa
Entah di sebrang mana, kakiku kan bertengger


       Di sebrang jalan sana
       Sekumpulan anak belajar dan bermain
       Dengan iringan semangat orangtua mereka
       Sedari tadi, aku hanya menyaksikan mereka
       Bergurau, saling berbagi kasih dan sayang


Pedulikah mereka denganku
Pedulikah mereka pada pemimpi kecil sepertiku
Atau anak yang bernasib sama sepertiku
Apa ini balasan dari ketidakpedulianku selama ini
Cukup aku saja Tuhan, jangan Engkau libatkan yang lain


       Di ambang pintu kebahagian
       Aku hanyalah tontonan mereka
       Bukan sebagai penghibur mereka
       Melainkan, bahan olokan mereka
       Aku malu pada-Mu, Tuhan......