Ini Ialah Mesin Untuk kedatanganmu yang ke :

Kamis, 24 Maret 2011

“Operet Nyanyian Negri Pelangi”


 Jakarta, 15-16 November 2010, Sanggar Anak Akar menyelenggarakan  sebuah pertunjukan berbentuk  Operet, yang berjudul,  “Nyanyian Negri pelangi”.  Pertunjukan ini  diselenggarakan di  Graha Bakti Budaya, TIM(Taman Ismail Marzuki)  yang beralamat di Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Dalam Produksi Sanggar Anak Akar kali ini, cukup banyak melibatkan pelbagai komunitas, dan basis, di antaranya : Basis Penas, Kampung Melayu, Bantar Gebang, dan Halim. Banyak dari mereka yang  ikut ambil peran dalam mengisi dialog di setiap adegan. Untuk pemain musiknya, didatangkan  dari Sanggar Anak Akar. Beberapa di antaranya alumni Sanggar Anak Akar juga ikut serta. Para Alumni juga menyumbangkan beberapa lagu dan komposisi. Cukup banyak lagu yang dibutuhkan di dalamnya. Sedikitnya, ada tigabelas komposisi, diciptakan oleh banyak Composer kami.  Beraneka macam genre yang dimainkan, karena, menyesuaikan setiap adegan dan yang diingini oleh si Sutradara. Semua lirik lagu diciptakan oleh Sutradara. Beberapa komposisinya juga ada yang lahir dari tangan Sutradara. Salah satu lagunya ditempatkan di akhir adegan, dan sekaligus sebagai penutup acara.
Saya merasa senang sekali, ketika mendapatkan peran sebagai Batang Umbi. Batang umbi ialah sesosok orang yang menurut saya” Jahat”.  Karena ia merupakan salah satu tangan-kanannya Brotowali. Tetapi, ketika Batang Umbi Harus berhadapan dengan Bulir Padi, istrinya, ia terlihat seperti sesosok suami yang takut akan istrinya sendiri. Karena, di samping ia harus meyakinkan keluarganya supaya percaya akan kaidah yang ia anut,  ia juga dituntut untuk tidak takut pada siapa pun yang akan ia hasut. Saya meresa canggung, jika harus menceritakan tentang isi cerita dari operet ini. Mungkin ini saja yang dapat saya ceritkan pada Anda. Kita beralih ke prosesnya sajalah.
Pertunjukan kali ini merupakan kali keempatnya saya bermain teater di Sanggar Anak Akar. Setelah sebelumnya bermain di pertunjukan Maliang Dan Kuas Ajaib, Suara Bianglala dan Konser Etnika. Banyak permasalahan yang saya dapati selama proses latihan berlangsung. Jangka waktu untuk mempersiapkan semuanya kurang-lebih hanya satu bulan lamanya, mulai dari dekorasi panggung, beberapa komposisi yang harus digarap, hand property, penjadwalan latihan setiap harinya, konsumsi, transport dan masih banyak lagi. Meskipun sudah ada penanggungjawab di setiap bidangnya, masih saja kami kerepotan. Mungkin karena banyak hal yang kami pikirkan. Beberapa dari anak-anak yang mendapat peran juga masih saja kesulitan untuk ikut latihan bersama. Jarang sekali kami bisa latihan bersama dengan anak-anak dari basis. Paling hanya di hari sabtu dan minggu, kami bisa latihan bersama-sama. Karena, banyak dari mereka yang masih mengenyam  pendidikan di sekolah formal. Ada di antaranya yang bisa diizinkan dari pihak sekolah, walau pun yang meminta izin, mereka sendiri tanpa harus pengurus dari sanggar yang datang ke sekolah untuk mengurusnya. Ada juga yang harus memakai surat dari Sanggar. Beberapa penggarapan perlengkapan yang tertunda, diakibatkan oleh beberapa urusan yang harus diselesaikan penanggungjawab bidang di luar produksi. Beberapa dari mereka, ada yang mempersiapan segalanya untuk keberlangsungannya acara resepsi pernikahan mereka dalam waktu dekat. Hampir setiap hari kami latihan teater,  kecuali, mereka yang tinggal di basis-basis.  Mereka hanya bisa datang ke Sanggar untuk latihan di hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, mereka kembali lagi ke rumah masing-masing.
Di hari pertama kami latihan, tidak seefektif dan tidak berjalan lancar, Karena jadwal latihannya baru akan dibuat setelah mendaapat persetujuan dari sutradara. Seperti biasa, untuk pembuka latihan, kami melakukan pemanasan terlebih dahulu. Agar tidak tegang. Karena, kebanyakan dari anggota sanggar, khususnya murid-murid sekolah Otonom di tahun ini yang ikut terlibat dalam proses ini, mengakui bahwa, ini kali pertamanya mereka bermain Drama. Sesaat kami pemanasan, Sutradara datang membawa naskah. Naskah yang akan kami baca secara bergilir, sembari sang sutradara melakukan casting. Setelah semuanya duduk bersebela-sebelahan, kami pun memulainya. Dialog pertama dibacakan oleh sutradara. Dialog kedua dibacaka oleh salah satu dari kami yang berada di sebeelahnya, dialog selanjutnya dibacakan oleh anak yang duduk di sebelahnya, dan seterusnya sampai dialog yang harus dibacakan habis. Karena sang sutradara belum menemukan siapa-siapa saja yang akan mendapatkan peran, membaca ulang naskah pun kami lakukan.
Sebenarnya saya tibakbegitu suka bermain drama, dikarenakan, saya selalu kesusahan, ketika harus membacakan dialog di depan teman-temanku. Apalagi, cara saya membaca sering belepotan. Kata mereka yang mendengarkan,”Ngomong apa sii?”, “Nggak jelas nii mbacanya!” Sahut teman lainnya, “Artikulasinya yang jelas dong, makanya jangan cepet-cepet! Kelipet ntu lidah lo.”Tambah yang lainnya. Saya sempat merasa jengkel diri, dan pada mereka juga. Saya sudah mengulangnya berkali-kali, tetapi, masih saja tak ada hasilnya.  Mereka pun melakukan hal yang sama dengan tadi yang sudah-sudah terjadi.  Mencela, merendahkan, membego-mbegokan yang lain, kritik keras menghujani telingaku.”Kenapa mereka selalu berbuat demikian, ketika salah satu dari mereka, tidak dapat berbicara atau pun berbuat seperti yang mereka kehendaki?” Gerutuku dalam batin. Baru membaca dialog  saja, saya sudah dapat celaan sedemikian banyaknya, bagaimana kalau berlanjut terus pada angkatan selanjutnya yang akan ikut belajar bersama ditempat ini? Apa mereka yang baru ikut bergabung dan bermain drama akan senang hati?. Bagi banyak anak-anak yang mentalnya lemah, itu akan membuatnya tersinggung. Bahkan mungkin mereka akan menjadi tambah menurun mentalnya.
Di saat kami sedang mempermasalahkan hal itu, sutradara hanya tersenyum prihatin pada kami dan ia berkata, “Ya sudahlah, mendingan kita teruskan saja membaca dialognya, masih salah-salah juga nggak apa-apa. Toh nanti bisa dilatih dan dibiasakan sambil jalan. Nggak baik juga perbuatan yang  telah kalian perbuat, dengan menindas yang lainnya. Saya bicara seperti ini, tidak tertunjuk pada satu orang, akan tetapi untuk kalian semua. Jangan merasa paling bisa, paling jago, paling berpengalaman sendiri.  Keterampilan, keahlian, kepiawaian, dan semua yang telah kalian dapatkanitu, tidak lain ialah titipan-Nya. Jadi jangan kalian menyombongkan diri sendiri. Memang apa yang patut kalian sombongkan, sedangkan, kalian tidak serius menapaki jalan menuju kemajuan pribadi dan kemajuan bersama. Kita ini tinggal di sebuah komunitas, maka saling melengkapilah kalian. Jangan hanya mementingkan sendiri, mengutamakan kemajuan personal tanpa menghiraukan saudara atau teman kita yang tertinggal.”  Suasana pun semakin mencekam. Seakan omongannya baru saja menyindir kami secara halus. Kami pun saling intropeksi diri, dan saling pandang satu sama lain.
Setelah mendengar sang sutradara berbicara seperti itu, saya pun merasa lega, dan kembali bersemangat untuk berlatih kembali. Teman-teman lainnya juga saling menyemangati satu sama-lain. Kami lanjutkan kembali latihan seperti biasa. Terasa damai sudah suasana menyertai kebersamaan kami. Seharian di aula, kami habiskan hanya untuk merampungkan naskah, dan sutradara pun sudah menentukan  barang siapa-siapa saja yang dapat peran.  


1 komentar:

  1. Kalo nggak bisa menceritakan sinopsisnya bahkan alur ceritanya aku bantuin dech. Tenang aja. Eh masukin juga dong video pementasannya.

    Hmm, maaf ya aku belum banyak posting. Soalnya aku lagi ujian terus. Ntar kalo udah kelar. aku pasti posting lagi. Pegang janjiku yaaaa.
    Kapan ya ke rumahku lagi???

    Salam sahabatmu dan adikmu,
    Angger.

    BalasHapus

Yang bagus-bagus aja ya,,,,
biar tetep semangat berkarya....
See you in the other postings....

Regards
Adnan